Saturday 28 October 2017

PEMBELAAN PIDANA NARKOTIKA

Dalam suatu pemeriksaan perkara tindak pidana di muka persidangan, setelah Penuntut Umum membacakannya tuntutan kepada Terdakwa, maka akn diberikan hak kepada Terdakwa dan/atau Pensihat Hukumnya mengajukan Nota Pembelaan (Pledooi).

Nota Pembelaan (pledooi) ini sendiri bertujuan untuk memberikan analisis terhadap proses pemeriksaan perkara yang telah dijalani dari sisi Terdakwa dan/atau Penasihat hukumnya untuk kemudian sebagai b ahan pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara tersebut.

Berikut adalah salah satu contoh nota pembelaan (pledooi) perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika :

http://www.pengacarariau.com/2017/04/tidak-didampingi-penasehat-hukum-saat.html

NOTA PEMBELAAN

(PLEDOOI)

TERDAKWA SIGIT GUNANTO Bin JUMARI

PERKARA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA 

NO. REG. PERKARA : 52 /Pid.Sus/2012/PN.Mgl
Pada Pengadilan Negeri Magelang
di Kota Magelang


PENDAHULUAN

Majelis Hakim Yang Mulia;
Rekan Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta Para Hadirin Sidang Sekalian Yang Berbahagia;

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat serta Hidayah-Nya kita semua dapat menjalankan persidangan Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI tanpa halangan berarti dan semoga hingga akhir persidangan ini rahmat serta hidayah-Nya tetap tercurahkan kepada kita semua sehingga kebenaran dan keadilan dapat kita tegakkan, baik demi kepentingan hukum maupun masyarakat, maupun bagi kepentingan Terdakwa yang berada dalam posisi lemah akibat duduk di “bangku panas” persidangan setelah didakwa dan kemudian dituntut Rekan Penuntut Umum atas dugaan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika sebagaimana diatur dan diancam Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) Huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA. Semoga, setelah melalui persidangan yang cukup menyita waktu serta pikiran, putusan pengadilan dengan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dapat dirasakan Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI dan juga semua pihak yang terlibat pada perkara ini.

Selanjutnya, sesuai etika dan sopan santun persidangan dalam pemeriksaan perkara pidana sebelum menginjak materi Nota Pembelaan (Pledooi), kiranya tidak berlebihan bila terlebih dahulu kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang telah dengan cermat, teliti serta tegas, melakukan pemeriksaan dalam perkara ini, tanpa mengesampingkan hak-hak Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI, sehingga kita semua berharap dapat mengetahui secara gamblang serta obyektif tentang duduk perkara sebenarnya dengan harapan menemukan KEADILAN SEJATI karena nilai dan harga KEADILAN lebih berharga dari apapun yang ada di dunia ini. Karena nilai keadilan ini pulalah maka berbagai aturan hukum dikeluarkan negara untuk mewujudkan kesejahteraan secara bersama tanpa mengorbankan rakyatnya, meski rakyatnya itu sendiri telah melakukan kesalahan. Bahkan, karena nilai keadilan ini pula, TUHAN selaku penguasa atas seluruh diri makhluk yang ada di dunia ini memberikan kesempatan untuk ber-TAUBAT bagi hamba-hamba-Nya meski sebesar apapun kesalahan yang telah dilakukan  hamba tersebut kepada-NYA.

Selain itu, kepada Yth. Rekan Penuntut Umum, penghargaan yang sama patut pula kami sampaikan karena telah berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran untuk melaksanakan kewajibannya yang selalu mengatas namakan hukum dan keadilan dalam pelaksanaan tugas tersebut, meskipun pada beberapa hal akan ada perbedaan pandangan antara kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI dengan Rekan Penuntut Umum.

Majelis Hakim Yang Mulia;
Rekan Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta Hadirin Sidang Sekalian Yang Berbahagia;

Ada ungkapan dalam dunia penegakan hukum dikenal dengan “QUID LEGES SINE MORIBUS” yang apabila diartikan kurang lebih memiliki makna apalah artinya suatu peraturan perundang-undangan kalau tidak disertai dengan moralitas. Jadi, makna penting keberadaan perundang-undangan ditujukan pada tercapainya moralitas, dimana moralitas utama dalam penegakan hukum adalah tercapainya Rasa Keadilan, baik itu keadilan bagi terdakwa yang dihadapkan dimuka persidangan maupun keadilan bagi masyarakat lainnya.

Dalam hal ini, terdakwa yang duduk pada “kursi panas” persidangan juga mengharapkan  keadilan dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya pada persidangan ini. Dan,  kami selaku penasihat hukum terdakwa sangat yakin, berdasarkan fakta-fakta secara keseluruhan sebagaimana terungkap di persidangan, berdasarkan alat bukti yang sah serta berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa serta alat bukti lain, kita semua, terutama sekali Majelis Hakim Yang Mulia yang mengemban tugas dan menjadi “perpanjangan tangan Tuhan” di atas dunia dalam persidangan ini dapat menjawab kebenaran dan keadilan bagi diri Terdakwa pada khususnya dan bagi kepentingan lebih luas yaitu demi Hukum dan Keadilan itu sendiri.

Tanpa adanya keadilan akan timbul keresahan dalam kehidupan masyarakat, dan rasa keadilan harus memiliki kepentingan berimbang dalam proses peradilan pidana, termasuk keadilan bagi TERDAKWA.

Ditegakkan suatu peraturan hukum tanpa memperhatikan dan memperhitungkan nilai-nilai keadilan justru melahirkan chaos hukumsebaliknya keadilan yang diberikan tanpa didasari penegakan hukum yang benar akan menghilangkan nurani keadilan manusia. Namun demikian, keadilan dengan menelantarkan kepastian hukum dan hak asasi bagi TERSANGKA atau TERDAKWA justru menjadikan keadilan sebagai suatu sarana kepentingan orang-orang tertentu, bahkan akan menjadikan kepastian hukum sebagai sarana persuasi dari makna Rule of Law suatu negara, termasuk Indonesia sebagai negara yang berpedoman sebagai sebuah negara Rule of Law.

Untuk itu, kami berharap kepada pengadilan melalui Majelis Hakim Yang Mulia sebagai “gerbang terakhir” penegakan hukum dapat menciptakan dan mewujudkan keadilan serta penerapan hukum yang benar serta kembali “meluruskan” sesuatu yang sudah salah kaprah dari awal untuk kembali dibenahi dan ditempatkan pada posisinya masing-masing. Jangan sampai “Dewi Keadilan” memegang neraca jomplang dan kemudian menggunakan “Pedang Keadilan”  secara tidak patut dan tidak pada tempatnya.

Majelis Hakim Yang Kami Muliakan;
Rekan Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta 
Hadirin Sidang Sekalian;

Berbicara tentang problema Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI pada dasarnya dapat kita pertanyakan pada diri kita sendiri dan diri setiap pribadi, baik itu dari profesi hukum, ataupun profesi lainnya atau orang awam sekalipun yang katanya sering tidak mengerti tentang dunia hukum. Terlepas dari posisi dan kedudukan dalam masyarakat, pada dasarnya kita semua secara bersama-sama selalu mencari dan berusaha menemukan hukum berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan sehingga akhirnya tercapai kebenaran materil guna menghasilkan KEADILAN SEJATI yang diidam-idamkan umat manusia tanpa pandang bulu agar tercapainya balanced of justice principle’s.

Prinsip keadilan yang berimbang (balanced of justice pri
nciple’s) berlaku dan mengikat bagi pihak yang terlibat pada due process of law, termsauk dalam hal ini Tersangka/Terdakwa. Maksud ”due process of law” bahwa terdakwa tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (Inkracht van Gewjisde) sehingga mengarah pada prinsip keadilan yang berimbang. Atas dasar itu, proses peradilan pidana disamping memperhatikan pendapat Penuntut Umum harus pula mempertimbangkan dan memperhatikan keterangan ataupun pembelaan Terdakwa dan/atau Penasihat Hukum-nya.

http://www.pengacarariau.com/2013/02/bagaimana-bila-anda-ditangkap-kepolisian.html

Dalam hal ini, arah yang dituju sekarang adalah “willing of justice principle”, dimana tidak dibenarkan ditonjolkannya faktor politik ataupun faktor-faktor lain diluar hukum dalam perkara 
pidana. Keadilan dalam proses hukum pidana inilah yang kini menjadi taruhan dalam pemeriksaan Terdakwa yang dihadapkan pada persidangan yang mulia ini. Apakah Terdakwa akan ditempatkan dalam posisi kesetaraan antara kepastian hukum dan keadilan bagi diri terdakwa?

Selanjutnya, pada hukum pidana pula kita juga mengenal asas “In Dubio Pro Reo” yang berintikan apabila terdapat cukup alasan untuk meragukan kesalahan terdakwa, maka hakim membiarkan neraca timbangan jomplang untuk keuntungan terdakwa. Dalam hal ini, prinsip dan doktrin hukum pidana tetap dominan dalam diri terdakwa yang berlaku universal, karenanya dihindari sejauh mungkin subyektifitas atas penanganan perkara yang dihadapi siapa pun, baik itu berkaitan dengan masalah politis, sosial maupun ekstra interventif lainnya sehingga adagium “lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah", dapat diterapkan secara total dan obyektif termasuk pada diri Terdakwa pada persidangan ini.

Kemudian, seandainya pengadilan membebaskan seorang terdakwa pada kasus narkotika berdasarkan ketepatan dan kebenaran nilai-nilai hukum dalam meraih keadilan, memang akan sering muncul tudingan atau tuduhan yang diarahkan kepada pengadilan dengan menyebutkan “Lihat, kembali pengadilan membebaskan pelaku penyalahgunaan narkotika”.

Padahal, seringkali rekayasa atas suatu perkara telah diramu dan diolah sejak dari tingkat penyelidikan/penyidikan dan pra penuntutan. Untuk kemudian, tersangka yang seringkali tidak memahami hukum sebagaimana mestinya mengikuti begitu saja arah pola pikir yang sudah dibentuk pada rekayasa suatu perkara ini. Suatu dilema penegakan hukum yang bukan hanya satu atau dua kali kita saksikan dan dengar di negara ini. Lalu, sampai kapan semua ini akan terus berlangsung? Apakah ini keadilan yang selalu kita dambakan. Keadilan Semu, Keadilan rekayasa?

Majelis Hakim Yang Mulia,
Saudara Jaksa Penuntut Umum,
Serta Hadirin Sidang Yang Berbahagia,

Berdasarkan fakta yang terungkap pada persidangan yang telah kita lalui bersama, terlihat jelas posisi klien kami (TERDAKWA) sangat terpojok dari keterangan para saksi, terutama keterangan saksi yang merupakan saksi dari Kepolisian. Dari keterangan saksi-saksi di persidangan, patut kami selaku Penasihat Hukum TERDAKWA mempertanyakan kembali “Kenapa saksi-saksi banyak memojokkan posisi TERDAKWA dalam perkara ini?” Bila kita menarik kesimpulan berdasarkan data dan fakta di persidangan, jelas sekali hal ini karena adanya kepentingan saksi yang berasal dari Kepolisian agar Terdakwa dapat dihukum dan dijebloskan ke penjara.

Bahwa berdasarkan Yurisprudensi dalam beberapa perkara Pidana Khusus sehubungan dengan pemeriksaan perkara atas dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Narkotika telah menjadi suatu ketentuan hukum tetap saksi-saksi memberatkan yang berasal dari hanya pihak Kepolisian saja tidak dapat diterima kesaksiannya. Bahkan Mahkamah Agung dalam putusannya pada perkara Nomor : 1531K/Pid.Sus/2010 dan Putusan Nomor : 2591 K/Pid.Sus/2010 secara berani menegaskan cara-cara penyelidikan dan penyidikan seperti hal ini sarat dengan rekayasa dan pemerasan.

Adapaun alasan-alasan yang dijelaskan Mahkamah Agung dalam putusannya tersebut sebagai berikut :

v  Bahwa pihak kepolisian dalam pemeriksaan perkara mempunyai kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil di pengadilan, sehingga keterangannya pasti memberatkan atau menyudutkan, bisa merekayasa keterangan. Padahal yang dibutuhkan sebagai saksi adalah orang yang benar-benar memberikan keterangan secara bebas, netral, objektif dan jujur (vide Penjelasan Pasal 185 KUHAP)
v  Bahwa secara formal kehadiran polisi di persidangan pada dasarnya digunakan pada saat member keterangan yang sifatnya Verbalisan
v  Bahwa oleh karena itu, mengapa pembuat undang-undang tidak membenarkan cara-cara penanganan seperti itu, karena pembuat undang-undang sudah memikirkan dan mengantisipasi, bahwa pada suatu ketika akan terjadi praktek rekayasa alat bukti/barang bukti untuk menjadikan orang menjadi tersangka. Apabila hal ini dibenarkan maka mudahnya orang jadi tersangka, sehingga polisi dapat memanfaatkannya sebagai alat pemerasan dan sebagainya

Kita semua percaya, pada dasarnya putusan yang diharapkan lahir dari suatu proses persidangan perkara pidana adalah suatu putusan yang benar-benar naar eerlykheid, geweten en eer berlandaskan suatu kebenaran materil yang ditemukan melalui suatu diskusi yang fair, dengan berpijak pada surat dakwaan dari Penuntut Umum pada awal persidangan.

Kemudian, apabila dakwaan yang telah diajukan Penuntut Umum tersebut berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan dalam Dakwaannya tidak dapat dibuktikan pada persidangan, maka sudah sepantasnyalah apabila Dakwaan tersebut DITOLAK atau TIDAK DAPAT DITERIMA untuk kemudian mengembalikan hak-hak TERDAKWA pada keadaan semula.

Inilah yang ternyata kisa saksikan pada Dakwaan Rekan Penuntut Umum pada perkara a quo, dimana ternyata uraian-uraian yang didakwakan pada awal persidangan tidak terbukti secara sah dan menyakinkan oleh Rekan Penuntut Umum. Namun, entah untuk hal apa, Rekan Penuntut Umum tetap menuntut Terdakwa agar dijatuhi hukuman penjara selama 5 (lima) tahun ditambah dengan denda sebesar Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subdisair 5 (lima) bulan penjara.


DAKWAAN DAN TUNTUTAN

Dakwaan yang diajukan Rekan Penuntut Umum pada awal persidangan ini, dimana Terdakwa didakwa melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam Pasal Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) Huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA serta kemudian Rekan Jaksa Penuntut Umum yang berkeyakinan Terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan telah menuntut Terdakwa agar dijatuhi hukuman berupa pidana penjara selama  5 (tahun) penajara ditambah denda Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsidair 3 bulan kurungan.


FAKTA-FAKTA  PERSIDANGAN :

Keterangan saksi-saksi :

Ø YAN HADI SOFYAN
ü  Bahwa saksi dihadirkan sebagai saksi dalam tindak pidana penyalagunaan narkotika
ü  Bahwa benar hari Sabtu tanggal 3 Maret 2012 sekitar jam 6.30 WIB di kamar 406 Hotel Trio Kota Magelang ada penangkapan pelaku penggunaaan narkotika
ü  Bahwa saksi saat penangkapan bertugas sebagai Satpam jaga di Hotel Trio
ü  Bahwa saksi tidak mengetahui kedatangan terdakwa ke Hotel Trio karena saksi tidak melapor ke Pos Satpam
ü  Bahwa sepengetahuan saksi pada malam sebelumnya juga telah dilakukan penangkapan terhadap peggunaa narkotika di kamar yang sama terhadap 3 (tiga) orang

Ø ARI SETIYANTO,SH
ü  Bahwa saksi dihadirkan sebagai saksi dalam tindak pidana penyalagunaan narkotika
ü  Bahwa perkara terdakwa merupakan pengembangan dari perkara lain yaitu Nana Suyana,CS yang ditangkap oleh saksi dan rekan saksi pada Hari Jum’at tanggal 2 Maret 2012 di Kamar 406 Hotel Trio Kota Magelang
ü  Bahwa peristiwanya pada tanggal 3 Maret 2012 sekitar Jam 6.30 WIB di Kamar 406 Hotel Trio Magelang, saksi menangkap terdakwa karena di duga membawa Narkoba jenis Sabu-Sabu bersama dengan rekan saksi Bipda Irchamudin
ü  Bahwa saat terdakwa ditangkap di lokasi kejadian, dalam Jaket yang dikenakan terdakwa di bagian dalam atas terdapat 1 (satu) paket sabu-sabu dalam plastic klip
ü  Bahwa saat penangkapan Nana Suyana, CS, terdakwa dan sepeda motor terdakwa tidak ada di lokasi penangkapan
ü  Bahwa sebelum menangkap terdakwa pada Pukul 6.30, Aparat Kepolisian telah ada di Kamar 406 Hotel TRIO dengan tersangka Nana Suyana
ü  Bahwa aparat polisi sebenarnya menunggu kedatangan sdr. Fuad (DPO) untuk mengantas sabu-sabu kepada Nana Suyana tapi yang dating adalah terdakwa
ü  Terdakwa bukan penghuni kamar 406 dan tanpa bertanya terdakwa langsung menuju kamar 406
ü  Bahwa sebelum masuk kamar, terdakwa mengetuk pintu terlebih dahulu dan kemudian Nana Suyana berkata “Masuk Saja” dan pintu dibuka oleh Nana Suyana,
ü  Bahwa kemudian saksi menangkap terdakwa lalu saksi dan rekannya langsung geledah badan terdakwa dan kemudian terdakwa menyerahkan 1 (satu) paket sabu dari dalam jaket yang dikenakannya
ü  Bahwa berdasarkan keterangan terdakwa, kehadiran terdakwa untuk mengantar sabu disuruh oleh sdr. Fuad (DPO)
ü  Bahwa saksi tidak melihat terdakwa menyerahkan sabu kepada Nana Suyana
ü  Bahwa setelah Nana ditangkap lalu polisi meminta Nana memancing sdr Fuad (DPO) lalu kemudian Nana menghubungi Fuad dari HP miliknya
ü  Bahwa Nana pernah bertemu muka dengan Fuad
ü  Bahwa sebelum diantarkan paket sabu, ternyata Fuad SMS kepada Nana yang akan datang mengantarkan Sabu adalah adiknya
ü  Bahwa terdakwa dengan Fuad komunikasi face to face dan terdakwa menerima imbalan sebagai kurir Rp. 50.000,- setiap kali mengantar paket sabu
ü  Bahwa hasil test urine terhadap terdakwa positif menggunakan psikotropika

Ø M. IRHAMUDIN
ü  Bahwa saksi dihadirkan sebagai saksi dalam tindak pidana penyalagunaan narkotika
ü  Bahwa perkara terdakwa merupakan pengembangan dari perkara lain yaitu Nana Suyana,CS yang ditangkap oleh saksi dan rekan saksi pada Hari Jum’at tanggal 2 Maret 2012 di Kamar 406 Hotel Trio Kota Magelang
ü  Bahwa saat terdakwa ditangkap di lokasi kejadian, dalam Jaket yang dikenakan terdakwa di bagian dalam atas terdapat 1 (satu) paket sabu-sabu dalam plastic klip
ü  Bahwa perkara terdakwa merupakan pengembangan dari perkara lain yaitu Nana Suyana,CS yang ditangkap oleh saksi dan rekan saksi pada Hari Jum’at tanggal 2 Maret 2012 di Kamar 406 Hotel Trio Kota Magelang
ü  Bahwa sebelum menangkap terdakwa pada Pukul 6.30, Aparat Kepolisian telah ada di Kamar 406 Hotel TRIO dengan tersangka Nana Suyana
ü  Bahwa aparat polisi sebenarnya menunggu kedatangan sdr. Fuad (DPO) untuk mengantas sabu-sabu kepada Nana Suyana tapi yang dating adalah terdakwa
ü  Bahwa peristiwanya pada tanggal 3 Maret 2012 sekitar Jam 6.30 WIB di Kamar 406 Hotel Trio Magelang, saksi menangkap terdakwa karena di duga membawa Narkoba jenis Sabu-Sabu bersama dengan rekan saksi ARI SETIYANTO
ü  Bahwa sebelum diantarkan paket sabu, ternyata Fuad SMS kepada Nana yang akan datang mengantarkan Sabu adalah adiknya
ü  Bahwa terdakwa dengan Fuad komunikasi face to face dan terdakwa menerima imbalan sebagai kurir Rp. 50.000,- setiap kali mengantar paket sabu
ü  Bahwa hasil test urine terhadap terdakwa positif menggunakan psikotropika

Ø NANA SUYANA;
ü  Bahwa saksi diminta keterangan sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana Narkoba jenis Sabu yang terjadi di Hotel Trio Magelang pada hari Jum’at 2 Maret 2012
ü  Bahwa saat saksi di gerebek di Kamar 406, di lokasi penangkapan ditempati saksi dengan 3 teman saksi lainnya
ü  Saat digerebek Polisi, saksi sedang berada di luar kamar, dan yang ada di kamar 406 adalah 3 orang teman saksi karena saksi saat itu sedang kedatangan tamu sdr. Fuad sekitar jam 8-9 malam untuk  mengantarkan alat penghisap sabu dan kemudian sdr. Fuad diantar keluar oleh saksi dimana Fuad dating bersama satu orang temannya yang tidak saksi kenak dan bukan terdakwa
ü  Bahwa saat sdr. Fuad hendak keluar dari Hotel, saksi melihat sdr. Fuad berpapasan dengan regu polisi yang gerebek saksi, dimana jumlah polisinya 8 orang
ü  Bahwa sebenarnya apabila membeli sabu, tidak biasanya penjual sabu mengantarkan paket alat sabu untuk pembelinya
ü  Bahwa saksi dengan 3 temannya memang sudah niat untuk memakai sabu-sabu, dimana sebelumnya pada Jumat siang saksi ambil paket sabu-sabu di alun-alun Kota Magelang yang diserahkan oleh sdr. Fuad dan saat penyerahan ini Terdakwa tidak ada
ü  Bahwa setelah saksi ditangkap dan dibawa ke Kantor Polisi, kemudian Polisi melihat nomor HP Fuad di HP saksi
ü  Bahwa kemudian Polisi meminta saksi untuk menjebak sdr. Fuad dengan menghubunginya melalu telepon dengan kembali seolah-olah memesan sabu kembali yang skasi lakukan sekitar Jam 5 Subuh pada Hari Sabtu tanggal 3 maret 2012
ü  Bahwa sebenarnya apabila memesang sabu tidak biasanya dalam beberapa jam kemudian pemesan akan memesan sabu kembali pada penjual yang sama, biasanya baru bisa pesan lagi sekitar 2-3 hari setelahnya
ü  Bahwa saat memesan dalam jangka waktu hanya beberapa jam dari pesanan semula ini, Fuad sama sekali tidak bertanya kepada saksi kenapa harus memesan kembali dan hanya menjawab melalui HP “Oke deh om, saya anter” dan Fuad tidak ada SMS saksi ataupun mengatakan kepada saksi akan diantarkan oleh adiknya
ü  Bahwa kemudian saksi dibawa kembali oleh Polisi menuju Kamar 406 Hotel Trio untuk menunggu saudara Fuad
ü  Bahwa kemudian ternyata yang mengantarkan paket sabu bukanlah sdr. Fuad melainkan terdakwa
ü  Bahwa sebelum terdakwa masuk ke Kamar 406, ada ketukan di pintu dan saksi berkata “Silahkan masuk Dek Fuad” dan saat pintu dibuka ternyata yang masuk adalah terdakwa serta saksi sempat kaget tapi saksi tidak tutup pintu lagi
ü  Bahwa sebelumnya bersama saksi ada 2 orang petugas polisi, dimana 1 orang polisi sembunyi di balik pintu dan 1 orang polisi lagi sembunyi dibalik lemari
ü  Bahwa kemudian polisi yang berada di balik pintu langsung menyergap terdakwa dan diiringi oleh polisi dibalik lemari menyergap terdakwa pula
ü  Bahwa kemudian terdakwa ditendang oleh Polisi tersebut tetapi yang jatuh malah polisinya
ü  Bahwa saat terjatuh ini terdakwa digeledah oleh Polisi tersebut namun tidak ditemukan paket sabu pada diri terdakwa
ü  Bahwa kemudian polisi tersebut mengancam terdakwa baru kemudian terdakwa mengambil paket sabu dari dalam jaketnya dan menyerahkan kepada Polisi tersebut
ü  Bahwa saksi sudah beberapa kali pesan sabu pada sdr. Fuad (DPO) sekitar 2-3 kali dan yang mengenalkan saksi dengan sdr. Fuad adalah teman saksi
ü  Bahwa hubungan saksi dengan sdr. Fuad hanya sekedar membeli paket sabu milik sdr. Fuad saja
ü  Bahwa saksi sudah cukup lama memakai sabu dan tidak mungkin pemesan sabu dapat memesan pada penjual yang sama hanya dalam waktu beberapa jam setelah memesan paket sebelumnya

KETERANGAN TERDAKWA :

SIGIT GUNANTO; Pada pokoknya di muka persidangan memberikan keterangan :

ü  Bahwa terdakwa dihadapkan ke persidangan karena dugaan tindak pidana penyalahgunaan narkotika jenis sabu-sabu
ü  Bahwa peristiwanya adalah pada Hari Sabtu sekitar jam 5.30 WIB pagi hari terdakwa dibangunkan oleh seorang bernama Fuad (DPO) dimana kemudian terdakwa oleh Fuad disuruh mengantar sabu ke Hotel Trio Kamar 406 pada Pak Nana dengan cara Fuad bicara “dianter ke karo Pak Nana”
ü  Bahwa jaket sebagai barang bukti di muka persidangan adalah milik sdr. Fuad, Sepeda Motor dan kunci sepeda motor milik Kakak Terdakwa, dan Helm milik terdakwa sendiri
ü  Bahwa terdakwa berangkat dari rumah dengan mengendarai sepeda motor yang berjarak sekitar 15 Menit
ü  Bahwa saat jaket dipakai oleh terdakwa karena kondisi cuaca pada saat itu sedang gerimis, kemudian sdr. Fuad mengatakan ciri-ciri Pak Nana agak gemuk dan di kamar 406 serta Fuad mengatakan barang ada di saku dalam jaket dan barang tersebut tidak dicek oleh Terdakwa
ü  Bahwa sdr. Fuad juga mengatakan bayarannya sekitar Rp 700 – Rp 800 ribu
ü  Bahwa terdakwa memasuki pekarangan hotel melewati pintu masuk yang ada pos satpamnya dan terdakwa sudah mengetahui kamar 406 karena terdakwa sering main Futsal di Hotel Trio dan dekat dengan kantin Hotel Trio
ü  Bahwa saat sampai di Kamar 406, terdakwa kemudian mengetuk pintu kamar 406 dan terdengar orang berkata “Masuk saja” yang kemudian pintu dibuka oleh Pak Nana dan ternyata di dalam kamar 406 juga ada 2 orang lain yang ternyata aparat kepolisian
ü  Bahwa saat masuk kamar ini, kemudian terdakwa disergap oleh 2 orang Polisi tersebut, dan kemudian terdakwa juga ditendang dan dipukul dan polisi kemudian menggeledah tubuh terdakwa serta menemukan sabu dalam saku jaket bagian dalam
ü  Bahwa kemudian sabu tersebut diletakkan dilantai oleh Polisi dan terdakwa disuruh memegang sabu tersebut untuk kemudian di photo oleh Polisi tersebut
ü  Bahwa sesaat setelah itu, terdakwa di borgol dan dibawa ke Kantor Polisi
ü  Bahwa dalam mengantar paket sabu untuk Pak Nana ini terdakwa tidak dijanjikan apa-apa oleh sdr. Fuad hanya saja terdakwa sungkan kepada sdr. Fuad karena beberapa kali pernah diberi sabu secara gratis oleh sdr. Fuad
ü  Bahwa terdakwa diberi gratis oleh Fuad sebanyak 5 kali
ü  Bahwa terdakwa mengantar sabu baru pertama kali ini
ü  Bahwa 3 hari sebelum kejadian ini, terdakwa pernah nyabu bersama sdr. Fuad dan saat penangkapan diadakan pemeriksaan urine terdakwa serta terdakwa positif terbukti menggunakan sabu
ü  Bahwa saat disuruh oleh Fuad mengantar sabu, terdakwa awalnya merasa takut karena tahu ini dilarang oleh hukum tapi kemudian terdakwa mengantarkan sabu milik Fuad ke kamar 406 Hotel Trio karena sungkan kepada sdr. Fuad
ü  Bahwa pertama kali terdakwa memakai sabu dari tawaran sdr. Fuad sekitar bulan Februari 2012 dan sebelumnya terdakwa pernah beberapa kali ditawari menggunakan sabu bersama dengan sdr. Fuad tapi terdakwa tolak
ü  Bahwa kemudian sdr. Fuad terus menerus membujuk terdakwa agar memakai sabu bersamanya dengan alasan apabila memakai sabu maka tubuh akan selalu segar dan akan semangat bekerja
ü  Bahwa kemudian terdakwa memakai sabu bersama sdr. Fuad sekitar 5 kali tapi terdakwa tidak pernah memakai sendiri hanya bersama dengan sdr. Fuad di rumah Fuad
ü  Bahwa terdakwa menyesal akan perbuatan yang telah dilakukannya ini

BARANG BUKTI :

Bahwa dalam persidangan ini, rekan Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan barang bukti berupa :

  1. 1 (satu) bungkus plastic kecil yang tersimpan dalam bungkusan kertas alumunium foil berat keseluruhan 0,5 (nol koma lima) gram
  2. 1 (satu) jaket warna hitam kombinasi biru dan merah bertulisan “RAPINDO”
  3. 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda GL 125 warna Hitam No Pol AA 4088 BB Nomor Rangka : LL06632212 dan Nomor Mesin : JCO-IE-1032243
  4. 1 (satu) helm warna hitam merek BMC
  5. Bukti surat : Berita Acara Pemeriksaan L aboratoris Kriminalistik Nomro Lab : 314/NNF/2012 yang ditandatangani oleh YAYUK MURTI RAHAYU, BSc dkk dengan hasil pemeriksaan : Barang Bukti BB-0550/2012/NNF – Metafetamina Positif
  6. Bukti Surat : Berita Acara Pemeriksaan Urine Nomor : BA/23/III/2012/Urkes tanggal 3 Maret 2012 yang ditandatangani oleh dr. TRISNANINGSIH dengan hasil pemeriksaan Barang bukti urine milik SIGIT GUNANTO bin JUMARI pemeriksaan narkoba dengan AMP/AMPETHAMINE dengan hasil adalah POSITIF


ANALISIS HUKUM

Majelis Hakim Yang Mulia;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta Hadirin Sidang Sekalian;

Proses peradilan pidana adalah suatu proses persidangan yang sangat berbeda dengan proses persidangan lainnya, karena dalam suatu proses persidangan pidana haruslah dapat diukur seberapa jauh kesalahan (schuld) yang terdapat pada diri seorang terdakwa pada dugaan tindak pidana yang didakwakan tanpa ada sedikitpun keraguan pada Majelis Hakim pemeriksa suatu perkara tentang hal tersebut. Untuk kemudian, berdasarkan hal ini, dapat pula diukur dan dimintakan seberapa besar pertanggungjawaban pidana yang bisa dilekatkan pada seorang terdakwa.

Hal ini pulang yang disampaikan Curzon LB Curzon dalam bukunya “Criminal Law” (London; M & E Pitman Publishing ; 1997) yang menjelaskan :
“Bahwa untuk dapat mempertanggung jawabkan seseorang dan karenanya mengenakan pidana terhadapnya, tidak boleh ada keraguan sedikitpun pada diri hakim tentang kesalahan terdakwa”

Hal ini pula disampaikan Prof. Moeljatno dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” (Jakarta; Bina Aksara; 1987) dengan menerangkan :
“Orang tidak mungkin mempertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”

Karakteristik perkara pidana Indonesia telah menempatkan unsur yang esensial dalam suatu perumusan delik, baik yang ujud perumusannya secara tersirat maupun tersurat, yaitu apa yang dinamakan unsur melawan hukum atau “wedderechttelijk”.

Sebagai suatu delik formil, unsur melawan hukum dalam suatu perumusan delik kerap menempatkannya sebagai suatu perbuatan yang primaritas untuk menentukan dipidananya seseorang atau tidak atau dikenal dengan istilah “strafbarehandeling”.

Perbuatan terdakwa yang dapat dipidana (strafbarehandeling) terletak pada wujud suatu perbuatan yang dirumuskan dalam ketentuan/pasal yang mengaturnya, bukan pada akibat dari perbuatannya sebagai bentuk dari delik materil. Sebagai delik formil, konsekuensi hukumnya adalah bahwa seorang penuntut umum wajib membuktikan unsur esensial dari “strafbarehandeling” atau perumusan ketentuan yang didakwakan tersebut, begitu pula pembuktian terhadap unsur yang merupakan “sarana” penggunaan dari strafbarehandeling tersebut.

Berbicara pertanggungjawaban pidana, maka semuanya akan sangat bergantung dengan adanya suatu tindak pidana (delik). Tindak pidana disini, berarti menunjukkan adanya suatu perbuataan yang dilarang. Leonard Switz pada bukunya berjudul “Dilemma’s in Criminology” (New York; Mc. Graw Hill; 1967) menyebutkan untuk dikatakan sebagai suatu tindak pidana (delik) jika telah terpenuhinya 5 syarat, yaitu :

1.       An act must take place that involves harm inflicted on someone by the actor
2.        The act must be legally prohibited in the time it is committed
3.        The perpetrald must have criminal intent (mesn rea) whe he engages in the act
4.        There must be caused relationship between the voluntary misconduct and the harm that result from it; and
5.       There must some be legally prescribed punishment for anyone convicted of the act

Kata Delik atau delictum atau delict sendiri memiliki arti sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Dimana dalam hal hukum pidana sendiri kita mengenal adanya dua jenis yaitu delik formil yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang serta delik materil yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dan, pada delik ini sendiri Van Hattum menyebutkan antara perbuatan dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan.

Sementara itu, Prof. Satochid Kartenegara sehubungan dengan pengertian delik ini sendiri menyebutkan, unsur delik terdiri atas unsur obyektif dan unsur subyektif, dimana unsur obyektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia yaitu :
- Suatu tindakan
- Suatu akibat, dan
- Keadaan (omstandigheid)
Dimana kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Sedangkan unsur subyektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa :
- Kemampuan dapat dipertanggung jawabkan (toerekenings vatbaarheid)
- Kesalahan (schuld)

Untuk melihat suatu tindak pidana (delik) tersebut tidaklah bisa berdiri sendiri-sendiri karena baru akan bermakna apabila ada suatu proses pertanggung jawaban pidana. Artinya, setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana (delik) tidak dengan sendirinya harus dipidana atau dijatuhkan hukuman pada dirnya, karena agar dapat dijatuhi suatu pemidaan atau hukuman terhadap diri seseorang maka pada diri orang tersebut harus ada unsur dapat dipertanggung jawabkan secara pidana yang dapat dimintakan ataupun dijatuhkan kepadanya sesuai dengan unsur-unsur perbuatan sebagaimana ditegaskan dalam suatu pertauran perundang-undangan yang berlaku.

Herman Kontorowich, yang ajarannya diperkenalkan Prof Moeljatno menyebutkan :

“Untuk adanya suatu penjatuhan pidana terhadap pembuat (strafvorrassetzungen) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana (strafbarehandlung), lalu sesudah itu diikuti dengan dibuktikannya adanya ‘schuld’ atau kesalahan subyektif pembuat. ‘Schuld’ baru ada sesudah ada ‘unrecht’ atau sifat melawan hukum suatu perbuatan”

Pertanggung jawaban pidana sendiri lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan diteruskannya celaan yang subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana karena perbuatannya. (Dr. Dwija Priyatno, SH, MHum, Sp.N, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, hal. 30)

Bahwa rumusan delik dalam Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) Huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA, pembuktiannya tidak hanya sekedar melihat pertanggungjawaban pidana berdasarkan “materiele feit” sebagai delik campuran saja, tetapi tetap harus berpegang pada asas pertanggung jawaban pidana yang berlaku secara universal yang dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan), apakah schuld (kesalahan) tersebut berupa opzet (kesengajaan) maupun berupa culpa (kelalaian) dengan mengaitkan adanya suatu prinsip “formeele wedderechtelijkheid” dan adanya suatu alasan penghapusan pidana berdasarkan fungsi negatif.

Kesalahan itu sendiri adalah unsur, bahkan merupakan syarat mutlak bagi adanya suatu pertanggungjawaban yang berupa pengenaan pidana kepada seseorang. Kesalahan juga merupakan suatu asas fundamental dalam hukum pidana. Sesuai dengan pandangan dualistis, yang juga dianut Prof. Moeljatno menegaskan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya dan menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pandangan ini pada dasarnya untuk mempermudah dalam melakukan sistematisasi unsur-unsur dari suatu tindak pidana, artinya dapat menggolongkan mengenai unsur mana yang masuk dalam perbuatannya dan unsur mana yang termasuk dalam unsur kesalahannya. Unsur-unsur kesalahan itu sendiri dalam arti luas adalah :
Ø  Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal
Ø  Hubungan bathin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan / dolus atau kelalaian / culpa
Ø  Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf
(Dr. Dwija Priyatno, SH, MHum, Sp.N, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, hal. 36-41)


Majelis Hakim Yang Mulia;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin Sidang sekalian;

Sebagaimana diungkapkan diatas, dalam rangka membuktikan semua unsur tindak , terlebih dahulu harus dipahami adalah sistem pertanggungjawaban pidana karena hal ini erat kaitannya dengan penentuan terjadinya suatu tindak pidana serta penentuan siapa sebenarnya yang bertanggungjawab dalam tindak pidana tersebut. Dan, tak kalah pentingnya adalah dalam menentukan kesalahan dan/atau kesengajaan tersebut harus ada atau mempunyai kehendak dan niat untuk berbuat dari si pembuat/pelaku itu sendiri.

Selanjutnya, sesuai dengan pendapat Roeslan Saleh, pembuktian akan kehendak untuk berbuat tersebut berkaitan erat dengan syarat yang merupakan kekhususan dari kealpaan yaitu :
1.                      Tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum
2.                      Tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Pembuktian terhadap syarat pertama dari kealpaan tersebut diletakkan pada hubungan bathin terdakwa dengan akibat yang timbul dari perbuatan atau keadaan yang menyertainya. Dalam hal ini, perbuatan yang telah dilakukan terdakwa itu seharusnya dapat dihindarinya karena seharusnya dapat menduga lebih dahulu bahwa perbuatannya akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Menurut Memorie Van Toelichting, maka kata “dengan sengaja” (opzettelijk) adalah sama dengan “willens en wetens” (dikehendaki dan diketahui).

Mengenai pengertian pada Memorie van Toelichting tersebut, Prof Satochid Kartanegara mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah :
“Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta menginsyafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu”
(Leden Marpaung; Asas-Teori-Praktik HUKUM PIDANA; Sinar Grafika; Jakarta; 2005; hal 13)


Majelis Hakim Yang Mulia;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin Sidang sekalian;
Kita semua, pernah mendengar dan membaca tentang adanya “MISCARRIAGE OF JUSTICE” (kegagalan penegakan keadilan). Moj merupakan suatu persoalan universal dan actual yang dihadapi oleh hamper semua negara dalam penegakan system peradilan pidananya. Seorang pejabat yang mempunyai kuasa dan wewenang yang ada padanya justru  memberikan ketidakadilan. Sejak ribuan tahun lalu hingga hari ini, kondisi ketidakadilan masih dirasakan meskipun berbagai aturan hukum sudah dicoba untuk disempurnakan oleh para pemikir hukum dan para legislator.

Demikian parahnya ketidakadilan yang dipertontonkan kepada kita semua, sehingga situasi hukum di Indonesia digambarkan dalam kondisi disperate (diartikan sebagai kondisi atau keadaan yang sangat menyedihkan, keputusasaan), berada pada titik paling rendah (titik nadir), kacau balau (chaos). Ketidakadilan, yang dengan mudah ditemukan dalam kasus-kasus hukum, khususnya dalam perkara-perkara pidana, telah hamper sampai pada titik puncak, sehingga makna keadilan (justice) yang seyogyanya dicapai dan ditemukan pada proses peradilan pidana dipandang telah gagal (miscarriage).

Persoalan MoJ ini merupakan isu sangat penting ditengah upaya memajukan dan menegakkan hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang merupakan pilar penting dari penegakan pemerintah yang baik (good goverence). Hal ini dapat dibuktikan dengan gagalnya penegakan keadilan dalam kasus-kasus besar (high profile cases) di beberapa negara, contohnya di Indonesia yaitu kasus Sengkon dan Karta, di mana Sengkon dan Karta dituduh telah membunuh dan selanjutnya telah menjalani pidana hukuman penjara, padahal pelakunya adalah orang lain. Dan pada kasus yang lain yaitu kasus Philippus Kia Ledjab dkk, di mana dalam kasus ini, Philipus, isteri, anak-anak serta keponakannya dihukum karena tuduhan membunuh anak-anak dan isteri Rohadi, dengan mengesampingkan budaya masyarakat Flores yang pantang membunuh wanita dan anak-anak, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam pertimbangannya mengatakan bahwa budaya tersebut dapat luntur di sebuah Kota metropolitan seperti Jakarta.

Menurut Clive Walker, terdapat 4 (empat)hal penting yang terkandung dalam makna kegagalan dalam penegakan keadilan (miscarriage of justice), yaitu :
  1. Kegagalan penegakan keadilan tidak hanya terbatas pada produk Pengadilan atau dalam system Hukum Pidana, tetapi juga dapat terjadi di luar Pengadilan, dapat terbentuk seluruh kekuasaan dari penegak hukum yang bersifat memaksa (coercive powers);
  2. Kegagalan penegakan keadilan dapat dilembagakan dalam hukum, misalnya dalam bentuk legalisasi biaya-biaya tidak resmi;
  3. Kegagalan penegakan keadilan harus pula mencakup kelemahan negara ketika  menjalankan tanggung-jawabnya;
  4. Kegagalan oenegakan keadilan harus ditrgaskan pada hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
  5. Istilah miscarriageof justice terus berkembang dan dipergunakan untuk menggambarkan bahwa dalam system hukum negara-negara di dunia terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan dalam putusan Pengadilan yang menyebabkan seseorang harus menjalani hukuman atas kejahatan yang tidak dilakukannya.

Berdasarkan hal tersebut, dalam pemeriksaan perkara terdakwam patutlah kita semua, baik Rekan Penuntut Umum, Majelis Hakim ataupun kami sendiri selaku Penasihat Hukum, harus berpegang teguh pada asas-asas yang terkandung dalam penegakan keadilan dan harus menghindari tindakan-tindakan ataupun proses-proses yang dapat merusak integritas system sebagai upaya menghindari Moj pada perkara aquo.

Putusan yang akan dijatuhkan oleh Majelis Hakim haruslah putusan yang benar-benar didasari pada “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dan janganlah penghukuman itu berdasarkan ketidakjujuran atau penipuan atau tidak berdasarkan hukum pembuktian serta tidak menghormati hak-hak individu, apalagi penghukuman itu untuk memenuhi keinginan pejabat-pejabat atau lembaga-lembaga tertentu guna menutupi kesalahannya.

Majelis Hakim Yang Mulia;
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
Serta hadirin Sidang sekalian;

Dihubungkan dengan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada awal persidangan ini, untuk dapat menyatakan Terdakwa terbukti atau tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana pada Dakwaan, maka secara minimal yang harus diperhatikan adalah mengenai penerapan dari “fakta” dengan “strafbarehandeling” yang antara lain dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut :

1.   Apakah benar terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum sehubungan dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dikaitkan dengan unsur Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) Huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA?
2.   Apakah benar terdakwa telah melakukan perbuatan dalam kategori memiliki, meyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I untuk dirnya sendiri? Dan apakah sebab-musabab-akibat dari fakta peristiwa hukum ini?
3.   Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang seharusnya dihubungkan dengan keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan?

Selain itu, untuk menentukan apakah Terdakwa terbukti secara syah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dihubungan dengan Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) Huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA sebagaimana didakwakan Rekan Jaksa Penuntut Umum kepada dirinya, maka semua unsur dari pasal yang didakwakan kepadanya harus dapat dibuktikan dengan alat bukti yang sah yang dihadapkan di depan persidangan serta bukan berdasarkan asumsi dan rekaan semata.

Majelis Hakim Yang Mulia,
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Serta Hadirin Sidang Sekalian;

Dr. Chairul Huda, SH, MH, dalam bukunya “Dari Tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggung jawaban pidana tanpa kesalahan” (tinjauan kritis terhadap teori pemisahan tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana) pada hal 64 menyebutkan :
Mempertanggung jawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggung jawaban pidana tidak hanya berarti “rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggung jawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggung jawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggung jawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat-syarat factual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua pertanggung jawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences) dari keberadaan syarat-syarat factual tersebut, sehingga merupakan bagian dari aspek represif hukum pidana. “It is this condition between conditioning facts and conditioned legal consequences whichs is expressed in the statement about responsibility”.

Jadi, dalam hal ini selain harus dikaji fakta dengan unsur-unsur yang terdapat pada pasal-pasal yang telah didakwakan kepada seorang terdakwa, maka juga harus dikaji pula mengenai tepat ataukah tidak pertanggung jawaban dimintakan kepada seseorang tersebut sebagaimana yang telah didakwakan oleh Penuntut Umum. Jangalah sampai, kita melakukan suatu dakwaan dan atau tuntutan kepada seseorang yang sebenarnya tidak bersalah dan seharusnya tidak dimintakan pertanggung jawaban pidana pada drinya karena dengan melakukan tindakan ini maka pada dasarnya telah terjadi suatu “pemerkosaan” terhadap hukum dan keadilan.

Bahwa, untuk menentukan apakah terhadap terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, haruslah terbukti semua unsur-unsur dari pasal yang didakwakan kepadanya sebaliknya apabila salah satu unsur delik tidak terbukti maka tidak ada perbuatan yang dapat dianggap sebagai strafbarehandeling. Selanjutnya, apabila semua unsur delik dapat dibuktikan, maka yang kemudian harus dikaji adalah patutkah pertanggung jawaban pidana ditujukan kepada terdakwa dengan menjatuhkan pemidaan (celaan) kepada dirinya atau adakah alasan pembenar atau alasan pemaaf yang dapat melepaskan Terdakwa dari dakwaan penuntut umum yang dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah Strafuitsluitingsgronden.

Dalam hal straftuitsluitingsgronden ini, Prof. Satochid Kartanegara memberi pengertian sebagai hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (delik) tidak dapat dihukum. Tidak dapat dihukum dimaksud karena tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Syarat yang kemudian membuat seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana dalam melakukan perbuatannya menurut Prof. Mr. G. A. van Hammel adalah sebagai berikut :
  1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga ia mengerti atau menginsyafi nilai dari perbuatannya
  2. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tata cara kemasyarakatan adalah dilarang
  3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya

Majelis Hakim Yang Mulia,
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Serta Hadirin Sidang Sekalian;

Sebelum kami sampai pada pembahasan mengenai analisis terhadap unsur-unsur yang didakwakan dan dituntut oleh Rekan Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa, maka dada beberapa hal yang patut kami sampaikan sehubungan dengan perkara yang sedang dihadapi Terdakwa. Bahwa Ketika para Pengguna Narkoba berhadapan dengan Hukum, mau tidak mau, mereka harus menerima perlakuan yang sama dengan mereka yang berlaku sebagai pengedar dan atau bandar Narkoba. Para penegak hukum akan memandang bahwasanya para pengguna Narkoba tidak lebih pelanggar hukum yang harus dijerat oleh ketentuan hukum yang berlaku. Adilkah ini ?

Bahwa, pada dasarnya penindakan bagi para pelanggar hukum adalah sangat diperlukan mengingat bahwa tujuan dari hukum itu sendiri adalah untuk mewujudkan terciptanya keseimbangan dalam kehidupan sosial yang dicederai oleh pelaku tindak pidana namun demikian hukum juga tidak bertujuan sebagai instrumen balas dendam terhadap akibat yang telah dilanggar oleh pelanggar tersebut. Dalam konteks demikian maka dalam masalah penindakan bagi para pecandu Narkoba sudah seharusnya para aparatur penegak hukum dapat memilah - milah apakah pecandu narkoba tersebut dapat tergolong sebagai "korban" atau memang harus dianggap sebagai pelaku tindak pidana.

Harus diakui sesungguhnya dalam pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan Narkoba selalu ada pihak "korban". Pemahaman yang sulit adalah bagaimana membuktikan bahwa pencandu tersebut adalah sebagai 'korban" mengingat perbuatan penyalahguna itu sendiri sudah merupakan perbuatan pidana.

Pecandu adalah korban karena sesungguhnya negara melalui peraturan hukumnya telah mengatur dan mengupayakan adanya vonis rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA Jo PP Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika. Hal ini masih ditambah lagi pemahaman, bahwa pada dasarnya, pengguna narkoba memiliki penyakit yang disebut dengan adiksi, yakni ketergantungan pada narkoba. Singkatnya, mereka menuntut, supaya dalam perkara penyalahgunaan narkoba dimana terdakwanya adalah seorang pecandu, vonis rehabilitasi lebih diutamakan dibandingkan vonis penjara. Alasan dan pemahaman tersebut banyak di-amin-in oleh pakar-pakar hukum maupun mereka yang berempati terhadap kasus-kasus narkoba dimasyarakat. Faktanya, penjara memang bukan tempat yang tepat bagi para pecandu. Pemenjaraan yang bersifat mengurung, mengungkung dan menjauhkan para pecandu dari asimilasi kehidupan sosial malah lebih menjatuhkan mental mereka sebagai “kriminal” yang pada akhirnya, kemungkinan besar, dalam kehidupan penjara itulah para pecandu akan menjadi lebih “parah”.
Pemahaman serta issue diatas tampaknya harus berbenturan dengan sistem hukum pidana yang bersifat mengatur dan pemahaman para pelaksana penegak hukum di negeri ini yang berdasarkan prinsip penegakkan hukum dan keadilan. Atas dasar pandangan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) maka negara wajib mengembalikan keseimbangan hukum atas pelanggaran hukum yang ada dengan menindak tegas bagi pelanggarnya guna menegakkan keadilan. Artinya, hukuman merupakan suatu hal yang mutlak bagi si pelanggar hukum guna mencegah, mempertakutkan, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama.

Hakim, dalam konteks tugasnya, menjalankan keadilan demi hasrat dari para pencari keadilan tampaknya tidak mengenal bahwa “pengguna NAPZA termasuk pecandu adalah korban”. Hakim lebih memposisikan dirinya dalam “Formalistis Legal Thinking” sehingga rasanya sulit memahami issue yang dikembangkan aktivis dan mereka yang berempati pada masalah Narkotika, yang jelas – jelas dalam issue tersebut memposisikan 2 subjek hukum berbeda yakni antara “pelanggar” dan “korban”.

Karena dalam hukum pidana pada hakekatnya adalah mencari kebenaran materiel maka putusan hakim pun kelak didasarkan pada hukum materiel. Inilah masalahnya, bagaimana mungkin menghukum pelanggar hukum yang sebenarnya si pelanggar tersebut adalah korban dari kejahatan itu sendiri ? Bagaimana caranya meng-“giring” agar hakim dapat menjatuhkan putusan rehabilitasi bagi pengguna Napza ?

Bahwasanya, prinsip pengambilan keputusan oleh hakim harus didasarkan pada prinsip-prinsip seperti :
v  Menghukum yang bersalah membebaskan yang tidak bersalah;
v  Kebebasan hakim;
v  Mengadili secara kasuistik;
v  Indubioproreo, dalam menjatuhkan putusan hakim harus disertai keyakinan (dalam kesangsian demi tertuduh).

Dari beberapa prinsip-prinsip di atas, keyakinan hakim merupakan prinsip yang paling dominan, bahkan dapat dikatakan, merupakan kekuasaan absolut dari hakim itu sendiri. Hal ini sebagaimana didukung Pasal 6 ayat 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN yang menyatakan, “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapatkan keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

Berdasarkan prinsip mengadili secara kasuistik, jika seorang terdakwa pecandu NAPZA menghendaki putusan dalam bentuk rehabilitasi maka sekurang-kurangnya dengan 2 (dua) alat bukti ia harus membuktikan dan meyakinkan hakim bahwasanya memang patut diberikan putusan rehabilitasi (pasal 183 KUHAP). Bagi pecandu NAPZA yang sedang dalam atau telah menjalanin perawatan dan pengobatan namun mengulangi perbuatannya tersebut tentunya tidak terlalu bermasalah. Dengan bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah maka keyakinan hakim akan timbul bahwasanya memang si pecandu tersebut patut divonis (hukuman) masuk ke panti rehabilitasi. Bagaimana pecandu NAPZA yang memperoleh NAPZA tersebut secara tidak sah ?

Tidak adanya pedoman pemidanaan dalam UU Narkotika maupun Psikotropika, mau tidak mau, selalu memposisikan pecandu sama dengan terdakwa penjual dan atau bandar. Padahal dalam hitungan perkara, pecandu dan pengedar sangat jauh perbedaannya. Pecandu lebih mengkonsumsikan NAPZA untuk dirinya sendiri sedangkan pengedar tentunya ada motif ekonomis mengapa dia menjadi pengedar. Hakim seharusnya memahami perbedaan tersebut. Apakah ada motif ekonomis dari terdakwa pecandu NAPZA tersebut. Jika tidak ada motif ekonomis maka sudah seharusnya vonis yang dijatuhkan adalah vonis rehabilitas bukan vonis penjara.

Majelis Hakim Yang Mulia,
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Serta Hadirin Sidang Sekalian;

Mengenai pembuktian dalam suatu proses persidangan perkara pidana, merupakan tugas dari Rekan Jaksa Penuntut Umumlah untuk mencari dan mendapatkan bukti-bukti yang diatur dalam KUHAP guna membuktikan kebenaran yang sebenar-benarnya dan selangkap-lengkapnya tentang :
  1. Perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh Terdakwa
  2. Apakah perbuatan Terdakwa itu b enar-benar sesuai dengan dakwaannya atau tidak
  3. Apakah perbuatan terdakwa itu merupakan perbuatan pidana dan dapat dibuktikan sesuai dengan syarat-syarat dari hukum pembuktian ata tidak atau bukan merupakan perbuatan pidana
  4. Apakah perbuatan terdakwa itu telah memenuhi unsur-unsur dari suatu peraturan pidana atau tidak, perbuatan itu sesuai dengan suatu peraturan atau Undang-Undang atau tidak sesuai, atau perbuatan itu belum diatur oleh suatu Undan-Undang dan lain-lain ketentuan yang tentunya diperoleh dari alat-alat bukti yang diajukannya

    Mengenai pembuktian sendiri atau bewijs, menurut pengetahuan kami ada 4 (empat) teori yaitu :
    1. Negatief Wettelijk Bewijs Theorie
    2. Positief Wettelijk Bewijs Theorie
    3. Convention Intime
    4. Convention Raissonee

    Dalam hal ini kami tidak perlu membahas satu persatu pengertian dari keempat teori hukum tersebut, karena kami sangat yakin Majelis Hakim Yang Muli tentu telah mengetahuinya secara jelas dan gambling, namun kami menyatakan bahwa UU No. 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP menganut system pembuktian “Negatief Wettelijk Bewijs Theorie” yaitu pembuktian yang harus didasarkan pada 2 (dua) syarat yaitu :
    1. Harus didasari kepada alat bukti yang diakui oleh undang-undang atau sebagai alat bukti yang sah adalah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu :
    1)       Keterangan Saksi
    2)       Keterangan Ahli
    3)       Surat
    4)       Petunjuk
    5)       Keterangan Terdakwa
    1. Negatief Bewijs. Pengertian Negatief Bewijs yang dimaksud oleh undang-undang adalah bahwa keyakinan hakim saja tidak cukup untuk menyatakan seseorang bersalah, keyakinan hakim harus dibentuk dari paling kurang dua alat bukti yang sah dan saling mendukung.

    Majelis Hakim Yang Mulia;
    Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang terhormat;
    Serta hadirin Sidang sekalian;

    Selanjutnya, disini kami selaku penasihat hukum dari Terdakwa akan membahas mengenai unsur-unsur pasal yang didakwakan dan dituntut kepada Terdakwa berupa Dakwaan Kumulatif yaitu Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA yang terdiri atas hal-hal sebagai berikut :

    Unsur pertama : Setiap orang

    Bahwa unsur Barang siapa atau setiap orang ini merupakan elemen delict dan bukan bestandeel delict dalam suatu ketentuan yang terdapat pada Pasal perundang-undangan yang tentunya harus dibuktikan oleh Rekan Jaksa Penuntut Umum berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan. Menurut hemat kami, unsur Barang Siapa atau Setiap Orang haruslah dihubungkan dengan perbuatan yang telah didakwakan untuk selanjutnya dibuktikan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal perundang-undangan yang megaturnya. Kalau unsur perbuatan tersebut terpenuhi atau terbukti secara syah dan menyakinkan, maka barulah unsur barang siapa atau setiap orang dapat dinyatakan terpenuhi atau terbukti apabila memang unsur barang siapa atau setiap orang tersebut dapat ditujukan pada diri Terdakwa.

    Dalam hal ini, menurut pendapat kami yang dimaksud setiap orang dalam surat dakwaan Rekan Jaksa Penuntut Umum jelas ditujukan kepada manusia atau orang sebagai subyek hukum yang berfungsi sebagai hoofdader, dader, mededader atau uitlokker dari perbuatan pidana (delik) yang telah memenuhi semua unsur dalam rumusan delik sebagaimana tertulisa dan tercantum pada dakwaan dan kemudian kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan tersebut.

    Barang siapa atau setiap orang sendiri, pada dasarnya bukanlah unsur akan tetapi dalam perkembangan praktek peradilan, kata barang siapa atau setiap orang menjadi bahasan serta ulasan baik oleh Penuntut Umum maupun Pengadilan. Setiap orang atau barang siapa pada dasarnya mengandung prinsip persamaan kedudukan di muka hukum (equality befor the law) sebagai suatu asas hukum yang berlaku secara universal. Dan, dalam melihat unsur setiap orang ini sendiri tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari konsep serta prinsip ajaran tentang prosedur pertanggungjawaban pidana kepada seseorang atau korporasi.

    Untuk hal ini, mengikuti dari pembahasan yang diberikan Rekan Jaksa Penuntut Umum dalam requisitornya (tuntutan) kepada Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI, pada pokoknya kami sependapat bahwa unsur barang siapa atau setiap orang ini telah terpenuhi karena Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI merupakan subyek hukum yang mampu bertanggung jawab dalam setiap tindakan hukum yang dilakukannya.

    Unsur kedua : Tanpa Hak atau Melawan Hukum

    Bahwa kami selaku penasihat hukum dari Terdakwa, melihat setiap perbuatan pidana/tindak pidana atau delik tentunya haruslah memenuhi unsur dengan melawan hukum baik itu dinyatakan secara tegas pada pasal perundang-undangan ataupun tidak disebutkan dengan tegas. Oleh karena itu, maka baik Rekan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya, Penasihat Hukum pada pledooinya dan Majelis Hakim pada putusannya haruslah mengkaji dan mebahas mengenai terpenuhi atau tidak terpenuhi unsur dengan melawan hukum sehingga seroang terdakwa dapat dijatuhi atau tidak dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan peaturan perundang-undangan yang berlaku.

    Kemudian, agar terpenuhinya unsur melawan hukum ini sendiri haruslah dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dikaitkan dengan ketarangan saksi-saksi, keterangan ahli-ahli serta alat bukti lain yang diajukan secara syah dan sesuai hukum yang berlaku.

    Sehubungan dengan perkara yang didakwakan kepada Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI oleh Rekan Jaksa Penuntut Umum dan kemudian telah menuntut Terdakwa dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara penjara dipotong masa tahanan yang telah dijalaninya, maka kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa menolak dengan tegas apa yang telah diungkapkan dan diuraikan Rekan Jaksa Penuntut Umum tersebut baik dalam Dakwaan maupun Requisitornya.

    Hal ini perlu kami sampaikan, karena selaku Penasihat Hukum Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI melihat bahwa unsur dengan melawan hukum tidaklah terbukti secara syah dan menyakinkan dilakukan oleh Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI. Tidak terbuktinya unsur melawan hukum karena pada diri Terdakwa tidak terdapat sama sekali kesalahan (schuld) dalam perbuatan yang telah dilakukannya baik yang dilakukan dengan kesengajaan. Hal ini dikaitkan dengan pertimbangan perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut sama sekali tidak memiliki niat untuk memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika. Terdakwa sendiri tidak pernah mengetahui barang yang dibawa dalam jaket yang diserahkan oleh FUAD kepadanya adalah paket sabu atau bukan karena Terdakwa tidak pernah memeriksanya dan Terdakwa hanya langsung menuju ke lokasi Kamar 406 Hotel TRIO Kota Magelang.

    Unsur ketiga : Memiliki, Menyimpan, Menguasai atau Menyediakan

    Tentang unsur ketiga ini, kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa menyatakan dengan tegas menolak kesimpulan Rekan Jaksa Penuntut Umum yang telah menyatakan unsur ini terbukti secara sah dan menyakinkan. Patut kami sampaikan, Jaksa Penuntut Umum tidak pernah menjelaskan secara gambling serta detail darimana dasar pernyataan terbuktinya unsur ini. Padahal, untuk terpenuhinya unsur ini haruslah digambarkan dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

    Bahwa ketentuan mengenai unsur pasal ini tidaklah dapat disamakan dengan ketentuan “Bezit” (penguasaan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 529 dan 1977 KUH Perdata. (Hukum Online.Com; “Istilah Bezit Dalam Perkara Narkotika; Sabtu, 24 Maret 2012; www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f6d17c0b4fa4/istilah-ibezit-i-dalam-perkara-narkotika)

    Kalimat “memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika” dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 harus dimaksudkan terpenuhinya dua unsure saat benda narkotika itu ditangan tersangka/terdakwa. Kedua unsur itu adalah “kekuasaan atas suatu benda” dan “adanya kemauan untuk memiliki benda itu”. Dan, kedua unsur ini harus dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

    Berdasarkan fakta-fakta persidangan, jelas terungkap “bezit” atas sabu yang menjadi barang bukti di persidangan ada pada orang yang bernama “FUAD” (DPO) sehingga tidaklah pantas kiranya beban kewajiban dan pertanggungjawaban hukumnya kemudian dibebankan kepada Terdakwa.


    Unsur keempat : Penyalahgunaan Narkotika Golongan I untuk diri sendiri

    Bahwa ketentuan yang terdapat pada unsur ini adalah suatu ketentuan yang tidak dapat berdiri sendiri karena jelas dan tegas ketentuan pada Pasal 127 ayat (1) ini terhubung dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 127 ayat (2) yang menjelaskan ketentuan pada Pasal 127 ayat (1) harus mempertimbangkan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana terdapat pada Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang kemudian ketentuan pasal ini pun kemudian terhubung dengan PP Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu narkotika.

    Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, hanya satu alat bukti yang mampu memberikan penjelasan atas adanya penyalahgunaan narkotika gologan I untuk diri sendiri yaitu KETERANGAN TERDAKWA saja. Tidak ada alat-alat bukti lain yang dapat menjelaskan dan menegaskan terpenuhinya unsur ini dilakukan oleh TERDAKWA. Keterangan saksi-saksi yang diajukan Penuntut Umum dihadapan persidangan (ARI SETIYANTO,SH; IRCHAMUDIN;  YAN HADI SOFYAN dan NANA SURYANA) sama sekali tidak dapat membuktikannya. Selain itu, barang bukti berupa paket sabu yang diajukan ke persidangan pun bukan merupakan barang bukti yang pernah dipakai oleh TERDAKWA dalam penggunaan sabu-sabu bagi dirinya sendiri.


    Majelis Hakim Yang Mulia;
    Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
    Hadirin Sidang Yang Berbahagia;

    Berkaca dari Dakwaan yang telah diungkapkan dan dibacakan Penuntut Umum pada awal persidangan, patut kami sayangkan kemudian Penuntut Umum pada tuntutannya menyatakan Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin Jumari telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sesuai dengan Dakwaan a quo dan kemudian menjatuhkan pidana penjara serta denda kepada Terdakwa.

    Adalah suatu yang sudah jelas dan pasti, pada fakta-fakta persidangan yang sudah kita jalani bersama dalam persidangan a quo, Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI sama sekali tidak terbukti sesuai dengan Dakwaan yang diajukan Penuntut Umum pada awal persidangan. Hal ini kami sampaikan atas pertimbangan dan analisis (kami ambil dari mengutip dakwaan penuntut umum) sebagai berikut :


    DAKWAAN KESATU :

    Ø  Pada Hari Jumat tanggal 2 Maret 2012, Petugas Polisi telah mendapatkan informasi melalui telepun dari orang yang tidak mau disebutkan namanya bahwa pada Hari Sabtu tanggal 3 Maret 2012 sekitar jam 06.00 wib aka nada penyerahan Narkotika jenis sabu-sabu di Kamar 406 Hotel TRIO. (Hal ini sama sekali tidak terbukti di persidangan, karena ternyata perkara a quo ini didasarkan atas pengembangand ari perkara NANA SUYANA, CS)
    Ø  Terdakwa menyadari disekitar lokasi telah ada beberapa anggota polisi yang berpakaian preman, kemudian terdakwa membuang bungkusan kertas ke tanah/lantai (Hal ini sama sekali tidak terbukti di persidangan, karena ternyata barang bukti sabu-sabu tersebut diambil petugas polisi dari saku jaket yang dipakai oleh terdakwa)



    Dan DAKWAAN KEDUA :

    Ø  Kemudian petugas melakukan pengembangan pemeriksaan atas diri terdakwa, di depan penyidik ia memberikan keterangan bahwa telah mengggunakan narkotikas jenis sabu-sabu bagi dirinya sendiri setidaknya 5 (lima) kali dan tekahir pada hari Jumat tanggal 2 Maret 2012 sekitar Jam 20.00 WIB di rumah terdakwa Kampung Semaitan RT 03/09 Desa/Kelurahan Trasan, Kecamatan Bandongan Kabupaten Magelang (Hal ini sama sekali tidak terbukti di persidangan, karena ternyata benar berdasarkan keterangan Terdakwa di muka persidangan pernah memakai sabu-sabu atas pemberian dari saudara FUAD sekitar 3 kali dan trakhir dilakukan terdakwa sekitar 3 hari sebelum peristiwa penangkapan atas dirinya di Hotel TRIO Kota Magelang)


    Majelis Hakim Yang Mulia;
    Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
    Hadirin Sidang Yang Berbahagia;

    Bahwa setelah memperhatikan dengan seksama seluruh rangkaian persidangan, terutama yang berkaitan dengan pemeriksaan para saksi, pemeriksaan para ahli dan pemeriksaan terhadap diri klien kami (Terdakwa) sendiri, maka kita semua secara obyektif dapat melihat klien kami (Terdakwa) SIGIT GUNANTO Bin JUMARI sama sekali tidak terbukti secara syah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana telah didakwakan oleh Rekan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini melanggar ketentuan sebagaimana diancam Kesatu : Pasal 112 ayat (1) UURI Nomor 35 Tahun 2009 Dan Kedua : Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

    Selanjutnya sebelum memasuki permohonan dari kami selaku penasihat hukum Terdakwa, ada beberapa catatan yang akan kami berikan yaitu :

    v  Bahwa klien kami (TERDAKWA) telah sangat sadar perbuatan penyalahgunaan narkotika sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
    v  Bahwa klien kami tersebut diatas telah merasakan akibat yang sangat besar yang merugikan diri klien kami dan juga keluarganya, dimana saat ini kebebasan klien kami selaku manusia telah dikekang dengan adanya penahanan mulai dari tingkat tingkat penuntutan di kejaksaan hingga persidangan ini.

    Berdasarkan hal-hal yang telah kami ungkapkan diatas, maka kami mohon kepada Majelis Hakim agar memberikan putusan sebagai berikut :

    1.       Menerima Pembelaan (pledooi) dari Tim Penasihat Hukum Terdakwa secara keseluruhan;
    2.       Menyatakan TERDAKWA TIDAK TERBUKTI secara syah dan menyakinkan melanggar Kesatu Pasal 112 ayat (1) UURI Nomor 35 Tahun 2009 Dan Kedua : Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
    3.       Membebaskan terdakwa dari Dakwaan  Jaksa Penuntut Umum (vrijspraak) sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP atau setidak-tidaknya MELEPASKAN terdakwa dari semua tuntutan hukum (onstslag van alle rechtsvervolging) sesuai Pasal 191 ayat (2) KUHAP;
    4.       MEMBEBASKAN Terdakwa oleh karena itu dari tahanan
    5.       Menyatakan barang bukti yang disita dalam perkara ini dikembalikan kepada yang berhak darimana barang bukti tersebut disita;
    6.       Mengembalikan dan merehabilitasi nama baik Terdakwa pada harkat dan martabatnya semula;
    7.       Membebankan biaya perkara ini kepada Negara;


    Dan apabila Majelis Hakim Yang Mulia berpendapat lain, dalam hal ini kami mengharpkan Majelis Hakim Yang Mulia dapat mempergunakan kewenangan serta kekuasaannya yang ada padanya agar pada diri Terdakwa SIGIT GUNANTO Bin JUMARI dapat dipakai ketentuan sebagaimana yang terdapat pada Pasal Pasal 54 dan 103 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA dengan memerintahkan TERDAKWA agar menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui REHABILITASI.


    Demikianlah pembelaan (pledooi) ini kami sampaikan selaku Penasihat Hukum Terdakwa dan semoga kita semua mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa.




    Magelang;      Juni 2012
    Penasehat Hukum Terdakwa
    SIGIT GUNANTO Bin JUMARI






    No comments:

    Post a Comment

    PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)