Friday 22 February 2013

PENIPUAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA



Penipuan "Bedrog" merupakan jenis-jenis kejahatan yang termasuk kedalam golongan kejahatan yang ditujukan terhadap hak milik dan lain-lain hak yang timbul dari hak milik atau dalam bahasa belanda disebut "misdrijven tegen de eigendom en de daaruit voortloeiende zakelijk rechten". Kejahatan penipuan diatur dalam buku ke II bab XXV dari Pasal 378 sampai dengan Pasal 394 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Digunakannya kata penipuan dalam bab tersebut karena dalam bab XXV diatur sejumlah perbuatan-perbuatan yang ditujukan terhadap harta benda, dimana oleh si pelaku telah dipergunakan perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau dipergunakan perbuatan tipu muslihat.
Sebagaimana yang dirumuskan Pasal 378 KUHP, secara yuridis, penipuan berarti perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang, uang atau kekayaannya. Perkataan penipuan itu sendiri memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu :
  1. Penipuan dalam arti luas, yaitu semua kejahatan yang yang dirumuskan dalam bab XXV KUHP.
  2. Penipuan dalam arti sempit, yaitu bentuk penipuan yang dirumuskan dalam Pasal 378 (bentuk pokok) dan Pasal 379 (bentuk khusus), atau biasa dengan sebutan oplichting.
Adapun seluruh ketentuan tindak pidana dalam Bab XXV ini disebut dengan penipuan, oleh karena dalam semua tindak pidana di sini terdapatnya perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau membohongi oranglain.
Ketentuan dalam pasal 378 ini pun merumuskan tentang pengertian penipuan (oplichting) itu sendiri. Rumusan ini adalah bentuk pokoknya, dan ada penipuan dalam arti sempit dalam bentuk khusus yang meringankan. Karena adanya unsur khusus yang bersifat meringankan sehingga diancam pidana sebagai penipuan ringan yakni dalam Pasal 379. Sedangkan penipuan dalam arti sempit tidak ada dalam bentuk diperberat. Rumusan penipuan tersebut terdiri dari unsur-unsur objektif yang meliputi perbuatan (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada orang lain (menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapuskan piutang), dan cara melakukan perbuatan menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai tipu muslihat, memakai martabat palsu, dan memakai rangkaian kebohongan. Selanjutnya adalah unsur-­unsur subjektif yang meliputi maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan maksud melawan hukum.

Unsur Subjektif Penipuan
Rumusan penipuan terdiri dari unsur-unsur objektif yang meliputi perbuatan (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada orang lain (menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapuskan piutang), dan cara melakukan perbuatan menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai tipu muslihat, memakai martabat palsu, dan memakai rangkaian kebohongan. Dan selain daripada unsur­-unsur objektif, maka dalam sebuah penipuan juga terdapat unsur-unsur subjektif dalam sebuah kejahatan penipuan meliputi maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan maksud melawan hukum. Berikut merupakan penjelasan singkat terkait unsur subjektif dalam sebuah penipuan, yakni sebagai berikut :
  • Maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dalam hal ini maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan menggerakkan harus ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yakni berupa unsur kesalahan dalam penipuan. Terhadap sebuah kesengajaan harus ditujukan pada menguntungkan diri, juga ditujukan pada unsur lain di belakangnya, seperti unsur melawan hukum, menggerakkan, menggunakan nama palsu dan lain sebagainya. Kesengajaan dalam maksud ini harus sudah ada dalam diri si pelaku, sebelum atau setidak-tidaknya pada saat memulai perbuatan menggerakkan. Menguntungkan artinya menambah kekayaan dari yang sudah ada. Menambah kekayaan ini baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
  • Dengan melawan hukum, dalam hal ini unsur maksud sebagaimana yang diterangkan di atas, juga ditujukan pada unsur melawan hukum. Maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melakukan perbuatan menggerakkan haruslah berupa maksud yang melawan hukum. Unsur maksud dalam rumusan penipuan ditempatkan sebelum unsur melawan hukum, yang artinya unsur maksud itu juga harus ditujukan pada unsur melawan hukum. Oleh karena itu, melawan hukum di sini adalah berupa unsur subjektif. Dalam hal ini sebelum melakukan atau setidak­-tidaknya ketika memulai perbuatan menggerakkan, pelaku telah memiliki kesadaran dalam dirinya bahwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melakukan perbuatan itu adalah melawan hukum. Melawan hukum di sini tidak semata-mata diartikan sekedar dilarang oleh undang-undang atau melawan hukum formil, melainkan harus diartikan yang lebih luas yakni juga bertentangan dengan apa yang dikehendaki masyarakat, suatu celaan masyarakat. Karena unsur melawan hukum ini dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, maka menjadi wajib dibuktikan dalam persidangan. Perlu dibuktikan disini adalah si pelaku mengerti maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menggerakkan orang lain dengan cara tertentu dan seterusnya dalam rumusan penipuan sebagai hal yang dicela masyarakat.
Unsur Objektif Penipuan
Pasal 378 KUHP tentang penipuan merumuskan, yakni barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Rumusan penipuan tersebut terdiri dari unsur-unsur objektif sebagai berikut :
  • Perbuatan menggerakkan (Bewegen). Kata bewegen dapat juga diartikan dengan istilah membujuk atau menggerakkan hati. Dalam KUHP sendiri tidak memberikan keterangan apapun tentang istilah bewegen. Menggerakkan dapat didefinisikan sebagai perbuatan mempengaruhi atau menanamkan pengaruh pada orang lain, karena objek yang dipengaruhi yakni kehendak seseorang. Perbuatan menggerakkan juga merupakan perbuatan yang abstrak, dan akan terlihat bentuknya secara konkrit bila dihubungkan dengan cara melakukannya, dan cara melakukannya inilah sesungguhnya yang lebih berbentuk, yang bisa dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang benar dan dengan perbuatan yang tidak benar. Karena di dalam sebuah penipuan, menggerakkan diartikan dengan cara-cara yang di dalamnya mengandung ketidakbenaran, palsu dan bersifat membohongi atau menipu.
  • Yang digerakkan adalah orang. Pada umumnya orang yang menyerahkan benda, orang yang memberi hutang dan orang yang menghapuskan piutang sebagai korban penipuan adalah orang yang digerakkan itu sendiri. Tetapi hal itu bukan merupakan keharusan, karena dalam rumusan Pasal 378 KUHP tidak sedikitpun menunjukkan bahwa orang yang menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang adalah harus orang yang digerakkan. Orang yang menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang bisa juga oleh selain yang digerakkan, asalkan orang lain atau pihak ketiga menyerahkan benda itu atas perintah atau kehendak orang yang digerakkan.
  • Tujuan perbuatan. Tujuan perbuatan dalam sebuah penipuan dibagi menjadi 2 (dua) unsur, yakni :
a. Menyerahkan benda, dalam hal ini pengertian benda dalam penipuan memiliki arti yang sama dengan benda dalam pencurian dan penggelapan, yakni sebagai benda yang berwujud dan bergerak. Pada penipuan benda yang diserahkan dapat terjadi terhadap benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal ini terkandung maksud pelaku untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Pendapat ini didasarkan pada ketentuan bahwa dalam penipuan menguntungkan diri tidak perlu menjadi kenyataan, karena dalam hal ini hanya unsur maksudnya saja yang ditujukan untuk menambah kekayaan.
b. Memberi hutang dan menghapuskan piutang, dalam hal ini perkataan hutang tidak sama artinya dengan hutang piutang, melainkan diartikan sebagai suatu perjanjian atau perikatan. Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hutang adalah suatu perikatan, misalnya menyetor sejumlah uang jaminan. Oleh karenanya memberi hutang tidak dapat diartikan sebagai memberi pinjaman uang belaka, melainkan diberi pengertian yang lebih luas sebagai membuat suatu perikatan hukum yang membawa akibat timbulnya kewajiban bagi orang lain untuk menyerahkan atau membayar sejumlah uang tertentu. Demikian juga dengan istilah utang, dalam kalimat menghapuskan piutang mempunyai arti suatu perikatan. Sedangkan menghapuskan piutang mempunyai pengertian yang lebih luas dari sekedar membebaskan kewajiban dalam hal membayar hutang atau pinjaman uang belaka, karena menghapuskan piutang diartikan sebagai menghapuskan segala macam perikatan hukum yang sudah ada, di mana karenanya menghilangkan kewajiban hukum penipu untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu pada korban atau orang lain.
  • Upaya - upaya penipuan. Upaya penipuan disini dibagi menjadi 2 (dua) unsur, yakni :
a. Dengan menggunakan nama palsu (valsche naam), dalam hal ini terdapat 2 (dua) pengertian nama palsu, antara lain:
Pertama, diartikan sebagai suatu nama bukan namanya sendiri melainkan nama orang lain (misalnya menggunakan nama seorang teman).
Kedua, diartikan sebagai suatu nama yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya atau tidak ada pemiliknya (misalnya orang yang bernama A menggunakan nama samaran B). Nama B tidak ada pemiliknya atau tidak diketahui secara pasti ada tidaknya orang tersebut. Dalam hal ini kita harus berpegang pada nama yang dikenal oleh masyarakat luas. Misalkan A dikenal di masyarakat dengan nama C, maka A mengenalkan diri dengan nama C itu adalah menggunakan nama palsu. Kemudian bagaimana bila seseorang menggunakan nama orang lain yang sama dengan namanya sendiri, tetapi orang yang dimaksudkan itu berbeda. Misalnya seorang supir bernama A mengenalkan diri sebagai seorang pegawai bank yang juga bernama A, si A yang terakhir benar-benar ada dan diketahuinya sebagai seorang pegawai bank. Di sini tidak menggunakan nama palsu, akan tetapi menggunakan martabat atau kedudukan palsu.
b. Menggunakan martabat atau kedudukan palsu (valsche hoedanigheid), dalam hal ini terdapat beberapa istilah yang sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan valsche hoedanigheid yakni, keadaan palsu, martabat palsu, sifat palsu, dan kedudukan palsu. Adapun yang dimaksud dengan kedudukan palsu itu adalah suatu kedudukan yang disebut atau digunakan seseorang, kedudukan mana menciptakan atau memiliki hak-hak tertentu, padahal sesungguhnya ia tidak mempunyai hak tertentu itu. Jadi kedudukan palsu ini jauh lebih luas pengertiannya daripada sekedar mengaku mempunyai suatu jabatan tertentu, seperti dosen, jaksa, kepala, notaris, dan lain sebagainya. Sudah cukup ada kedudukan palsu misalnya seseorang mengaku seorang pewaris, yang dengan demikian menerima bagian tertentu dari boedel waris, atau sebagai seorang wali, ayah atau ibu, kuasa, dan lain sebagainya. Hoge Raad dalam suatu arrest-nya (27-3-1893) menyatakan bahwa perbuatan menggunakan kedudukan palsu adalah bersikap secara menipu terhadap orang ketiga, misalnya sebagai seorang kuasa, seorang agen, seorang wali, seorang kurator ataupun yang dimaksud untuk memperoleh keperca­yaan sebagai seorang pedagang atau seorang pejabat.
c. Menggunakan tipu muslihat (listige kunstgreoen) dan rangkaian kebohongan (zamenweefsel van verdichtsels), dalam hal ini kedua cara menggerakkan orang lain ini sama-sama bersifat menipu atau isinya tidak benar atau palsu, namun dapat menimbulkan kepercayaan atau kesan bagi orang lain bahwa semua itu seolah-olah benar adanya. Namun terdapat perbedaan, yakni pada tipu muslihat berupa perbuatan, sedangkan pada rangkaian kebohongan berupa ucapan atau perkataan. Tipu muslihat diartikan sebagai suatu perbuatan yang sedemikian rupa dan yang menimbulkan kesan atau kepercayaan tentang kebenaran perbuatan itu, yang sesungguhnya tidak benar. Karenanya orang bisa menjadi percaya dan tertarik atau tergerak hatinya. Tergerak hati orang lain itulah yang sebenarnya dituju oleh si penipu, karena dengan tergerak hatinya atau terpengaruh kehendaknya itu adalah berupa sarana agar si korban berbuat menyerahkan benda yang dimaksud.

No comments:

Post a Comment

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)