Wednesday 1 November 2017

Berikut matriks persyaratan dan tata cara pengajuan Hak Uji peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi:

PENGAJUAN JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH AGUNG
PENGAJUAN JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH KONSTITUSI
Kewenangan Mahkamah Agung (“MA”) terkait dengan judicial review adalah sebagai berikut:
a.   MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
b.   MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(Lihat Pasal 31 ayat [1] dan [2] UU 5/2004)

Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA dan dibuat secara TERTULIS dan rangkap sesuai keperluan dalam Bahasa Indonesia (lihat Pasal 31A ayat [1]  UU 3/2009).

Permohonan judicial reviewhanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
a.   perorangan warga negara Indonesia;
b.   kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembanganmasyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
c.   badan hukum publik atau badan hukum privat.
(lihat Pasal 31A ayat [2] UU 3/2009)

Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a.   nama dan alamat pemohon;
b.   uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelasbahwa:
1.        materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
2.        pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
c.   hal-hal yang diminta untuk diputus.
(lihat Pasal 31A ayat [3] UU 3/2009)

Permohonan judicial review ke MA diatur lebih rinci dalam Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil (“Perma 1/2004”)dengan menggunakan terminologi Permohonan Keberatan. Permohonan keberatan diajukan kepada MA dengan cara:
a.   Langsung ke MA; atau
b.   Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon. (lihat Pasal 2 ayat [1] Perma 1/2004)
c.   Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 2 ayat [4] Perma 1/2004).
d.   Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri (Pasal 2 ayat [5] Perma 1/2004). 
e.   Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung (Pasal 3 Perma 1/2004):

i.        Didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung;
ii.       Dibukukan dalam buku register permohonan;
iii.     Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau kuasanya yang sah;

f.     Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri (Pasal 4 Perma 1/2004):
i.    Didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri;
ii.   Permohonan atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
iii. Permohonan dibukukan dalam buku register permohonan;
iv.    Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didatarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 10  UU MK, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) adalah menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemohon judicial reviewadalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (Pasal 51 ayat [1] UU MK):
a.        perorangan warga negara Indonesia;
b.        kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.        badan hukum publik atau privat; atau
d.        lembaga negara.

Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (lihat Pasal 30 ayat [1] UU MK).

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap (lihat Pasal 29 UU MK) yang memuat sekurang-kurangnya:
a.   Identitas Pemohon, meliputi:
i.   Nama
 ii.  Tempat tanggal lahir/ umur -  Agama
             iii.   Pekerjaan
 iv.   Kewarganegaraan
v.  Alamat Lengkap
vi. Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)

b.   Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
i.   kewenangan Mahkamah;
ii.   kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;
iii.  alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
 c.   Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:
i.        mengabulkan permohonan Pemohon;
ii.    menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;
iii.   menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

d.   Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu:
i.     mengabulkan permohonan Pemohon;
ii.    menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
iii.   menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(lihat Pasal 31 UU MK jo. Pasal 5 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang – Peraturan MK 6/2005).

Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut yaitu alat bukti berupa (Pasal 31 ayat [2] jo. Pasal 36 UU MK):
a.       surat atau tulisan;
b.     keterangan saksi;
c.     keterangan ahli;
d.      keterangan para pihak;
e.      petunjuk; dan
f.       alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.  

Di samping diajukan dalam bentuk tertulis permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk) atau yang serupa dengan itu (lihat Pasal 5 ayat [2] Peraturan MK 6/2005).

Tata cara pengajuan permohonan:
1.   Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan.
2.   Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan bersifat terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum konsultasi oleh talon Pemohon dengan Panitera.
3.   Petugas Kepaniteraan wajib memeriksa kelengkapan alat bukti yang mendukung permohonan sekurang-kurangnya berupa:
a.        Bukti diri Pemohon sesuai dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
i.     foto kopi identitas diri berupa KTP dalam hal Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia,
ii.    bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal Pemohon adalah masyarakat hukum adat,
iii.   akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat dalam hal Pemohon adalah badan hukum,
iv.   peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang bersangkutan dalam hal Pemohon adalah lembaga negara.
b.        Bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan;
c.        Daftar talon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi;
d.        Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila dipandang perlu.
4.   Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara kepada Pemohon.
5.   Apabila permohonan belum lengkap, Panitera Mahkamah memberitahukan kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan Pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas.
6.   Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (7) tidak dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan.
7.   Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya perkara.
(lihat Pasal 6 Peraturan MK 6/2005).


Disarikan dari berbagai sumber
NOOR AUFA,SH,CLA
Advokcate-Legal Consultant-Mediator-Legal Auditor
+6282233868677 (Phone/WA)

PEMBERIAN KUASA DALAM HUKUM INDONESIA

Surat kuasa secara umum diatur dalam BW, buku ketiga tentang perikatan, tepatnya pada bab yang ke XVI dalam pasal 1792 yang menyebutkan “Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa”.
Dilihat dari cara merumuskan, pemberian kuasa dibedakan menjadi dua jenis yaitu  kuasa khusus dan kuasa umum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1795 BW yang menyatakan “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa”.
Dilihat dari jenis surat kuasa yang diatur dalam undang-undang dapat dibedakan menjadi 4 jenis surat kuasa, yaitu:
1.     Kuasa Umum

Dalam pasal 1796 KUH Perdata, menyatakan Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa. Contohnya: seorang manager suatu perusahaan yang diberikan kuasa bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa dari Direktur PT, dia dapat melakukan tindakan yang mewakili Direktur tersebut untuk melakukan hal yang dipersyaratkan dalam pasal 1796 KUH Perdata tadi, seperti salah satu contoh berdasarkan pasal tadi yaitu melakukan pemindahan barang-barang produksi dari satu tempat ke tempat yang lain, atau juga tindakan-tindakan seperti transaksi jual-beli tergantung dengan batas dalam kuasa yang diberikan. namun, ditinjau dari segi hukum, untuk surat kuasa ini tidak dapat digunakan dalam sidang di pengadilan. Sebab, sesuai dengan ketentuan lain yang termuat dalam pasal 123 HIR (HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT) / pasal 147 RBg (REGLEMENT TOT REGELING VAN HET RECHTSWEZEN IN DE GEWESTEN BUITEN JAVA EN) yang menyatakan bahwa untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat surat kuasa istimewa (khusus). Jadi berhubung kepada contoh tadi, apabila terjadi permasalahan hukum pada PT tersebut dan masuk ke dalam persidangan dipengadilan, maka sang manajer tidak dapat bertindak mewakili PT tersebut kecuali kepadanya telah diberika surat kuasa khusus.
2.     Kuasa Khusus

Dalam surat kuasa ini, pemberian kuasa  dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai suatu kepentingan atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun untuk dapat digunakan dalam persidangan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat kuasa khusus ini, tidak bisa hanya mengiktui ketentuan sesuai dengan pasal 123 HIR ayat (1), yang menyatakan Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa khusus, kecuali kalau yang memberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang ditanda tanganinya dan dimasukkan menurut ayat pertama pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini. Apabila kita lihat dari makna yang terkandung pada pasal tersebut dari sudut pandang pengaturan pembuatan pemberian kuasa, surat kuasa khusus dalam format pasal ini sangat lah sederhana, hanya dengan memberikan judul khusus pada surat kuasa, kemudian dibuat dalam bentuk tertulis. Bentuk yang terlalu sederhana ini dalam perkembangan sejarah peradilan di Indonesia dinilai sudah tidak tepat lagi, sehingga dilakukan lah penyempuranaan oleh MA melalui SEMA (surat edaran Mahkamah Agung) tentang ciri surat kuasa khusus yang benar-benar dapat membedakannya dengan surat kuasa umum. Dalam perkembangan nya SEMA ini juga mengalami beberapa pergantian, dimulai dari SEMA No.2 Tahun 1959, sampai dengan yang terakhir SEMA No. 6 tahun 1994, 14 Oktober 1994. Dalam SEMA yang terakhir, pada dasarnya lebih kembali menyerupai dengan syarat pembuatan surat kuasa khusus yang diatur pada SEMA No.02 Tahun 1959, karena SEMA ini dianggap lebih tepat untuk penyempurnaan ciri dari surat kuasa khusus dibanding dengan SEMA setelahnya -sebelum SEMA terakhir-. Persyaratan pembuat surat kuasa khusus menurut SEMA ini yaitu:
  • Dalam surat kuasa khusus harus menyebutkan dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di pengadilan
  • Menyebutkan tentang kompetensi relatif
  • Menyebut identitas dan kedudukan para pihak secara jelas, dan
  • Menyebut secara ringkas dan kongkret pokok dan obyek sengketa yang diperkarakan.

Dan seluruh syarat diatas bersifat kumulatif. Apabila ada salah satu dari syarat diatas tidak dipenuhi, maka akan mengakibatkan kuasa tidak sah.
3.     Kuasa Istimewa

Surat kuasa istimewa diatur dalam pasal 157 HIR (pasal 187 RBg), yang menyatakan Sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun yang diminta atau ditolak oleh satu pihak lain, dengan sendiri harus diangkatnya kecuali kalau ketua pengadilan negeri memberi izin kepada satu pihak, karena sebab yang penting, akan menyuruh bersumpah seorang wakil istimewa yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu, kuasa yang mana hanya dapat diberi dengan surat yang syah, di mana dengan saksama dan cukup disebutkan sumpah yang akan diangkat itu. Dari hal tersebut, kita bisa lihat bahwa surat kuasa ini baru bisa digunakan dalam pengadilan apabila seseorang dalam melakukan sumpah nya di pengadilan berhalangan dengan sebab yang penting -contohnya dalam kondisi sakit-. Jadi, entang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa , hanya terbatas:
  • untuk mengucapkan sumpah tertentu atau sumpah tambahan sesuai aturan perundang-undangan,
  • untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau meletakan hipotek (hak tanggungan) diatas benda tersebut,
  • dan untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga.

Untuk kuasa istimewa ini dalam pasal diatas dinyatakan bahwa hanya dapat diberikan dengan surat yang sah. Untuk surat sah sendiri, diberikan tafsir oleh para praktisi hukum, adalah surat yang berbentuk akta otentik. Dengan kata lain, pembuatan surat ini harus dibuat dalam akte notaris dan ditegaskan dengan kata-kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan oleh penerima kuasa.
Secara kesimpulan, surat kuasa istimewa ini memiliki dua syarat untuk dianggap sah, yaitu bersifat terbatas (limitatif) dan bentuk akte otentik.

4.     Kuasa Perantara

Surat kuasa perantara disebut juga agen (agent). Dalam hal ini pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, mengikat principal sebagi pemberi kuasa, sepanjang tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan. Kuasa ini berdasar dengan pasal 1972 KUH Perdata yang mengatur secara umum tentang surat kuasa, dan pasal 62 KUHD yang menyatakan Makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (dalam hal ini Presiden) atau oleh penguasa yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan seperti yang dimaksud dalam pasal 64 dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap.  Sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaan, mereka harus bersumpah di depan raad van justitie di mana Ia termasuk dalam daerah hukumnya, bahwa mereka akan menunaikan kewajiban yang dibebankan dengan jujur.

NOOR AUFA,SH,CLA
+6282233868677 (Phone/WA)


MEDIASI PENAL DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA


Mediasi penal (penal mediation) sering disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam  istilah Jer-man disebut ”Der Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat  ATA**)) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender Medi-ation” (VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA).

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution[1]). ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata[2], tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, wa-laupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam ma-syarakat (musyawarah keluarga; musya-warah desa; musyawarah adat dan sebagainya). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbe-daan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi [3].

PENGATURAN MEDIASI PENAL DI BEBERAPA NEGARA

N E G A R A


PENGATURAN

AUSTRIA


-          Diatur dlm amandemen KUHAP th. 1999 yang diberlakukan pada Januari 2000.
-          Pada mulanya diversi/pengalihan penuntutan hanya untuk anak melalui ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche), namun kemudian bisa juga untuk orang dewasa  melalui ATA-E (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) yang merupakan bentuk “victim-offender mediation” (VOM).
-          Menurut Pasal 90g KUHAP Austria Penuntut Umum dapat mengalihkan perkara pidana dari pengadilan apabila:
1.         terdakwa mau mengakui perbuatannya,
2.         siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul atau kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat dari perbuatannya, dan setuju melakukan setiap kewajiban yang diperlukan yang menunjukkan kemauannya untuk tidak mengulangi perbuatannya di masa yad.
-          Tindak pidana yang dapat dikenakan tindakan diversi, termasuk mediasi, apabila :
1.        diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 th. penjara atau 10 th. dalam kasus anak.
2.        dapat juga untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence), dg catatan diversi tidak boleh, apabila ada korban mati (seperti dalam kasus manslaughter).

BELGIA


a.       Pada tahun 1994 diberlakukan UU tentang mediasi-penal (the Act on Penal Mediation) yang juga disertai dengan pedomannya (the Guideline on Penal Mediation).
b.      Tujuan utama diadakannya “penal mediation” ini adalah untuk memperbaiki kerugian materiel dan moral yang ditimbulkan karena adanya tindak pidana. Namun, mediasi juga dapat dilakukan agar  sipelaku melakukan suatu terapy atau melakukan kerja sosial (community service).
c.       Penuntut umum tidak meneruskan perkara ke pengadilan, apabila pelaku berjanji untuk memberi kompensasi atau telah memberi kompensasi kepada korban.
d.      Pada mulanya hanya untuk delik yang diancam maksimum 5 tahun penjara, tetapi dengan adanya ketentuan baru ini, dapat digunakan juga untuk delik yang diancam pidana maksimum 2 tahun penjara.
e.       Ketentuan hukum acaranya dimasukkan dalam Pasal 216ter Code of Criminal Procedure (10.02.1994).
JERMAN


-          Pada 12 Januari 1994, ditambahkan Pasal 46a ke dalam StGB  (KUHP) yg memberi kemungkinan penyelesaian kasus pidana antara pelaku dan korban melalui kompensasi (dikenal dengan istilah Täter-Opfer-Ausgleich - TOA).
-          Pasal 46a StGB : apabila pelaku memberi ganti rugi/kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah dengan sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi ganti rugi, maka pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat  dibebaskan dari pemidanaan. Pembebasan pidana hanya dapat diberikan apabila deliknya diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau 360 unit denda harian.
-          Apabila TOA telah dilakukan, maka penuntutan dihentikan (s. 153b StPO/ Strafprozessord-nung/KUHAP).

PERANCIS


-          UU 4 Januari 1993 mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code of Criminal Procedure) yang dikembangkan berdasar UU 18 Desember 1998 dan UU 9 Juni 1999 : penuntut umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dengan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut tidaknya seseorang.
-          Inti Pasal 41 CCP : penuntut umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat memperbaiki kerugian yang diderita korban,  mengakhiri kesusahan, dan membantu memperbaiki (merehabilitasi) si pelaku.
-          Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan; namun apabila berhasil penuntutan dihentikan (s. 41 dan s. 41-2 CCP- Code of Criminal Procedure).
-          Untuk tindak pidana tertentu, Pasal 41-2 CCP membolehkan penuntut umum meminta pelaku untuk memberi kompensasi kepada korban (melakukan mediasi penal), daripada mengenakan pidana denda, mencabut SIM, atau memerintahkan sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial selama 60 jam. Terlaksananya mediasi penal ini, menghapuskan penuntutan.

-          Tindak pidana tertentu yang dimaksud Psl. 41-2 CCP itu ialah : articles 222-11, 222-13 (1° to 11°), 222-16, 222-17, 222-18 (first paragraph), 227-3 to 227-7, 227-9 to 227-11, 311-3, 313-5, 314-5, 314-6, 321-1, 322-1, 322-2, 322-12 to 322-14, 433-5 to 433-7 and 521-1 of the Criminal Code, under the articles 28 and 32 (2°) of the Ordinance of 18 April 1939 fixing the regime of war materials, arms and munitions, under Article L. 1 of the Traffic Code and under Article L. 628 of the Public Health Code


POLANDIA


-         mediasi pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code of Criminal Procedure) dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni 2003 tentang “Mediation proceedings in criminal matters”.
-         Pengadilan dan jaksa, atas inisiatifnya atau atas persetujuan korban dan pelaku, dapat menyerahkan suatu kasus ke lembaga terpercaya atau seseorang untuk melakukan mediasi antara korban dan terdakwa. Proses mediasi paling lama satu bulan. Biaya proses mediasi ditanggung oleh perbendaharaan negara (State Treasury).
-         Hasil positif dari mediasi itu menjadi alasan untuk tidak melanjutkan proses pidana.
-         Mediasi dapat diterapkan untuk semua kejahatan yang maksimum ancaman pidananya kurang dari 5 tahun penjara. Bahkan kejahatan kekerasan (Violent crimes) juga dapat dimediasi.


MEDIASI VIOLENT CRIME

-         VOM (Victim-Offender Mediation) untuk violent crime diterapkan di Austria,  Polandia, Slovenia, Canada, USA, dan Norwegia;
-         Kasus-kasus KDRT (domestic violence) juga dapat di mediasi di United States, Austria, Poland, Denmark and Finland.



Mediasi penal sering dinyatakan meru-pakan ”the third way” atau ”the third path” dalam upaya ”crime control and the criminal justice system[4], dan telah digunakan di beberapa negara. Seberapa jauh kemungkinan itu dapat juga diterapkan di Indonesia, apa keterbatasan dan keunggulannya, serta bagaimana pengaturannya, tentunya memerlukan kajian yang mendalam dan komprehensif. Namun yang jelas, penyelesaian damai dan mediasi di bidang hukum pidana inipun sebenarnya sudah dikenal dalam hukum adat dan dalam kenyataan sehari-hari.
NOOR AUFA,SH,CLA
+6282233868677 (Phone/WA)




**) Di Austria terdiri dari ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche) untuk anak, dan ATA-E (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) untuk orang dewasa.
[1] New York State Dispute Resolution Association, Inc., Alternative Dispute Resolution in New York State, An Overview, sumber internet.
[2] Lihat UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[3] Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), “Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm
[4] Lihat antara lain, Deborah Macfarlane,  Victim-Offender Mediation in France , http://www. Mediation conference.com.au/2006_Papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER %20MEDIATION%20 IN%20 FRANCE1.doc ; Christa Pelikan. On Restorative Justice, www. restorativejustice.org/resources/docs/pelikan; Dieter Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and Empirical Comments, wings.buffalo.edu/ law/bclc/bclrarticles/3(1)/roessner.pdf ; Tony Peters, in colla-boration with Ivo Aertsen, Katrien Lauwaert and Luc Robert : From Community Sanctions To Restorative Justice, The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/ no61/ ch12. pdf

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)